Rabu, 16 Februari 2011

Perjalanan Islam

Ada beberapa hal yang mesti diselidiki lebih mendalam, sebagai berikut: 1. Betulkah kisah isra mikraj yang kita peroleh itu berdasarkan Al Qur-an (QS17:1)?. Maka penafsiran /para mufassirlah yang bertanggung jawab. Masarakat awwam bukanlah ilmuwan. 2. Bila ijtihad akan dipertahankan, siapkah kita menerima penafsiran opsi baru, sebagai pembanding penafsiran lama, yang telah berumur 1077 tahun (bila tafsir tertua Jamiu'ul Bayan-nya At Thabari tahun 330H merupakan rujukan para mufasir)? 3. Bila dalam teologi, kita berfaham Jabariah, Predestination, fatalism atau pasrah dengan taqdir, siapkah kita membuka pola pikir terhadap teologi qadariah serta tidak otomatis benci kepada muktazilah, khawariz, wahabi dst. dst. padahal kita nyaris kurang mengenalnya. Dengan demikian vonis aliran sesat, inkarussunah, murtad atau kafir tidak mudah meluncur. 4. Bila muncul pemikiran baru,bahwa bagaimanapun akal selalu berdiri di depan setiap pribadi. Sehingga tidak lagi mengatakan wilayah iman tidak bisa disentuh oleh akal. Hadits yang hanya diriwayatkan oleh An Nasaai, Tirmidzi dan ABu Dawud saja (tidak ada pada shahih Bukhari dan Muslim) bahwa "ketika seseorang berbicara atau menafsirkan Al Qur-an dengan akalnya (birra-yi) itu ditolak, atau akan di tempatkan di api-neraka" segera diinventarisir saja, karena kini empat madzhab plus madzhab Ja'far Sadik telah bersama-sama mengupas dan meletakkan akal sebagai hal penting dalam agama. Hal ini dibuktikan dengan sebuah hadits: Khatibinnaasa ala qdri uqulihim/ajaklah manusia berbicara dengan kemampuan akalnya. 5. Masih banyak hal-hal yang harus dikaji ulang. Terutama kritis terhadap hadits yang tidak seirama dengan Al Qur-an. Perkembangan zaman tidak akan mampu dibendung dengan cara apapun.


Setiap peristiwa keagamaan, semisal maulid nabi atau isra-mikraj selalu dijadikan titik tolak pembicaraan yang terkait dengan urusan kekinian. Dalam hal ini, demokrasi dikaitkan dengan isra mikraj, atau sebaliknya. Tentu dengan gagasan agar demokrasinya terbawa agung oleh keagungan isra-mikraj. Atau boleh jadi Isra mikraj agar ikut realitasnya berdemokrasi. Sebetulnya kalau berbicara perbaikan dalam segala bidang, ummat Islam punya patrun yang jelas, yakni Al Qur-an atau sunnah Rasul serta temuan-temuan ilmiah yang berakar dari Al Qur-an. Dapat dipastikan temuan ilmiah akan diperoleh ketika kecerdasan yang dibentuk melalui akal, nalar (nadhara=melihat) atau fikir terus dikembangkan.Anehnya, bila kisah isra mikraj dijadikan rujukan, pertanyaannya: adakah isra mikraj peristiwa ini sesuatu yang realistis?. Sedangkan akal senantiasa berbicara tentang yang nyata, factual, rasional, ilmiah atau dapat dibuktikan. Langkah awalnya adalah bahwa setiap kredo agama (dlm hal ini isra mikraj) diyakini tanpa jalur penggunan akal atau rasional. Pernyataan bahwa keimanan itu bukan oleh akal,sudah begitu melekat dalam masarakat awam keagamaan. Terkadang seorang intelektualpun dalam ranah agama masuk kelompok awam. Yang pada dasarnya, kekeliruan berada di pihak yang memiliki otoritas menyampaikan ajaran agama. Ketertutupan memberdayakan fungsi akal, bermuara pada tertutupnya ijtihad, yang landasannya kepada sebuah hadits yang menyatakan bahwa barang siapa yang berceritera/mengkaji Al Qur-an berdasarkan akal (ra'yu, akar kata ra-a-ya =melihat) ditolak. Demikianlah hadits yang diriwayatkan oleh Nasai,Tirmidzi dan Abu Dawud, dan tidak oleh Bukhari dan Muslim. Namun pada perkembangan keilmuan selanjutnya, akal menjadi dasar pemikiran semua madzhab (termasuk madzhab Abu Ja'far Shadiq/imam Syiah). Betapa tidak, karena dengan jelas dan gamblang Al Qur-an menggunakan kata akal sebanyak 49 (empatpuluhsembilan) kali/ayat. Kenyataan di lapangan,(terutama dalam dunia maya)sangat menyudutkan pandangan yang berdasarkan akal. Karenanya, sepanjang penggunaan akal belum menempati ruang dalam beragama, maka dunia mistik, khurafat atau khayal menjadi pilihan mengkaji agama, termasuk kisah Isra Mikraj. Dan tentu saja harus dibuktikan secara akademis. Sekali lagi, akademis tidak akan cocok dengan mistis, khurafat atau khayal. Tugas kita adalah mengkaji ulang adakah isra mikraj itu realistis/masuk akal atau mistis? Perlu kajian episitimologis. Namun bila masih berpendirian bahwa seajaib apapun peristiwanya, kalau Allah menghendaki, mengapa mustahil, sebagai pendirian fatalisme (jabariah) belum dirubah, akan menghadapi kesulitan dalam mudzakarah. Ada beberapa hal yang mesti diselidiki lebih mendalam, sebagai berikut: 1. Betulkah kisah isra mikraj yang kita peroleh itu berdasarkan Al Qur-an (QS17:1)?. Maka penafsiran /para mufassirlah yang bertanggung jawab. Masarakat awwam bukanlah ilmuwan. 2. Bila ijtihad akan dipertahankan, siapkah kita menerima penafsiran opsi baru, sebagai pembanding penafsiran lama, yang telah berumur 1077 tahun (bila tafsir tertua Jamiu'ul Bayan-nya At Thabari tahun 330H merupakan rujukan para mufasir)? 3. Bila dalam teologi, kita berfaham Jabariah, Predestination, fatalism atau pasrah dengan taqdir, siapkah kita membuka pola pikir terhadap teologi qadariah serta tidak otomatis benci kepada muktazilah, khawariz, wahabi dst. dst. padahal kita nyaris kurang mengenalnya. Dengan demikian vonis aliran sesat, inkarussunah, murtad atau kafir tidak mudah meluncur. 4. Bila muncul pemikiran baru,bahwa bagaimanapun akal selalu berdiri di depan setiap pribadi. Sehingga tidak lagi mengatakan wilayah iman tidak bisa disentuh oleh akal. Hadits yang hanya diriwayatkan oleh An Nasaai, Tirmidzi dan ABu Dawud saja (tidak ada pada shahih Bukhari dan Muslim) bahwa "ketika seseorang berbicara atau menafsirkan Al Qur-an dengan akalnya (birra-yi) itu ditolak, atau akan di tempatkan di api-neraka" segera diinventarisir saja, karena kini empat madzhab plus madzhab Ja'far Sadik telah bersama-sama mengupas dan meletakkan akal sebagai hal penting dalam agama. Hal ini dibuktikan dengan sebuah hadits: Khatibinnaasa ala qdri uqulihim/ajaklah manusia berbicara dengan kemampuan akalnya. 5. Masih banyak hal-hal yang harus dikaji ulang. Terutama kritis terhadap hadits yang tidak seirama dengan Al Qur-an. Perkembangan zaman tidak akan mampu dibendung dengan cara apapun.